IDN Times24 – Situasi mengerikan yang melanda warga Korea Utara (Korut) semakin mengkhawatirkan, dengan ribuan orang yang hidup dalam kondisi kelaparan yang parah. Warga Korut saat ini sedang menghadapi krisis pangan yang mengancam nyawa mereka, dengan jeritan kesengsaraan yang memilukan hati mereka dan dunia.
Dilansir BBC, Kamis (16/6/2023), BBC telah berkomunikasi dengan tiga warga Korut selama berbulan-bulan. Komunikasi itu dilakukan secara rahasia. BBC mengubah nama ketiga narasumber untuk melindungi mereka.
Tiga warga Korut itu membeberkan apa yang terjadi di Korut sejak pemerintah menutup perbatasan kota tiga tahun lalu sebagai penanganan pandemi COVID-19. Kelaparan, penggerebekan brutal, dan tidak ada kesempatan untuk melarikan diri.
Diperkirakan bahwa jutaan warga Korut mengalami kekurangan pangan yang kronis, dengan sebagian besar bergantung pada bantuan pangan dari luar negeri. Namun, berbagai faktor seperti bencana alam, pembatasan perdagangan internasional, dan kebijakan pemerintah yang membatasi akses ke bantuan internasional, telah menyebabkan situasi kelaparan yang memprihatinkan di negara ini.
Warga Korut terpaksa menghadapi pilihan yang sulit, di antaranya adalah kelaparan atau mencari makanan dengan risiko dihukum atau ditahan oleh pemerintah yang keras. Banyak keluarga yang terpisah, dengan orang tua yang tidak mampu memberikan makanan yang cukup kepada anak-anak mereka. Jeritan mereka meresap dalam dada kita, memanggil untuk bantuan dunia yang segera.
Beriktut pengakuan dari tiga warga Korut soal krisis makanan yang membuat kelaparan warga:
Myong Suk
Myong Suk seorang pengusaha perempuan yang menual obat selundupan dalam jumlah kecil secara rahasia kepada orang-orang yang membutuhkan. Dia pernah ditangkap sekali dan hampir tidak mampu membayar suap agar bisa keluar dari penjara. Jika ditangkap lagi, dia tidak mampu luput dari bui.
Sewaktu-waktu bisa saja ada ketukan di pintu. Bukan hanya polisi yang takuti, melainkan tetangganya. Saat ini hampir tak ada orang yang bisa dia percayai.
Myong Suk mengaku dulu tidak seperti ini. Bisnis obat Myong Suk dulu berkembang pesat.
Kondisi berubah pada 27 Januari 2020, saat perbatasan ditutup guna merespons pandemi. Penutupan itu tidak hanya menghentikan orang masuk ke Korut, tetapi juga makanan dan barang. Warga Korut yang memang sudah dilarang pergi ke luar negeri, dikurung di kota-kota.
Di bawah tirani Kim Jong Un, warga Korea Utara dilarang kontak dengan dunia luar. Dengan bantuan organisasi Daily NK, yang mengoperasikan jaringan sumber di dalam Korut, BBC dapat berkomunikasi dengan tiga orang biasa.
“Situasi makanan kami tidak pernah seburuk ini,” kata Myong Suk.
Seperti kebanyakan perempuan di Korea Utara, dia adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Gaji kecil yang diperoleh kaum suami dalam pekerjaan wajib negara hampir tiada artinya. Hal ini memaksa para istri untuk menemukan cara kreatif untuk mencari nafkah.
Sebelum penutupan, Myong Suk mendapatkan obat-obatan selundupan dari China. Obat-obat itu merupakan obat yang sangat dibutuhkan, termasuk antibiotik, untuk dijual di pasar lokal. Dia perlu menyuap penjaga perbatasan, yang menghabiskan lebih dari setengah keuntungannya. Namun, dia menerima hal ini sebagai bagian dari permainan.
Penjualan obat-obatan selundupan tersebut membuat dia bisa menjalani kehidupan yang nyaman di kotanya di bagian utara Korut dekat perbatasan China.
Sekarang dia menyiapkan sarapan jagung untuk mereka untuk suami dan anaknya. Hari-hari ketika mereka bisa makan nasi putih sudah berlalu. Tetangganya yang lapar sudah mulai mengetuk pintu meminta makanan, tetapi dia harus menolak mereka.
“Kita hidup dalam dunia nyata” Ujarnya.
Organisasi kemanusiaan dan badan-badan internasional telah mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap situasi krisis pangan di Korut. Mereka berjuang untuk menyediakan bantuan pangan yang diperlukan, tetapi terkendala oleh hambatan dan batasan yang diberlakukan oleh pemerintah Korut.
Dalam kondisi ini, panggilan untuk bantuan dunia menjadi semakin mendesak. Komunitas internasional harus bersatu dalam memberikan bantuan dan memastikan bahwa masyarakat Korut mendapatkan akses ke makanan yang memadai dan nutrisi yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Namun, bantuan pangan bukanlah solusi jangka panjang. Untuk mengatasi krisis pangan yang berkelanjutan di Korut, dibutuhkan upaya yang komprehensif, termasuk dukungan untuk pertanian, peningkatan infrastruktur, dan pelatihan keterampilan bagi masyarakat setempat.
Jeritan warga Korut yang menunggu mati karena kelaparan harus direspons dengan tindakan nyata. Mari bersatu dalam memberikan bantuan, meningkatkan kesadaran global, dan mendorong dialog yang konstruktif dengan pemerintah Korut untuk mencari solusi yang berkelanjutan.
Kita tidak boleh berpaling dari krisis kemanusiaan ini. Setiap kehidupan berharga, dan setiap orang memiliki hak atas makanan dan kehidupan yang layak. Bersama-sama, mari kita berdiri di samping warga Korut yang menderita, memberikan mereka harapan dan bantuan yang mereka butuhkan, dan bekerja menuju dunia yang lebih berkeadilan dan berempati.